Sunday, February 19, 2012

World around Us: Many but a Little Forgotten

Many but little forgotten by Indonesian public. Banyak... Namun sedikit terlupakan atau bahkan dilupakan oleh sebagian besar kalangan masyarakat di Indonesia. Kalimat tersebut tiba-tiba saja terbersit dalam pikiran saya, kenapa?

Indonesia sebagai salah satu negara yang terkenal dengan kekayaan alamnya yang  berlimpah sejak zaman kakek dan nenek moyang kita dahulu masih belum mampu meningkatkan kualitas kehidupan serta sumber daya manusia yang mereka miliki. Saya bingung, mengapa negara kita sampai saat ini hanya menjadi negara berkembang kesekian dari negara-negara tetangga yang bisa lebih maju. Padahal negara kita ini sudah lebih dulu meraih kemerdekaan dari penjajah yang jeli melihat  kekayaan yang terdapat di Indonesia. Kita memang sudah merdeka, tapi apakah merdeka dari para penjajah itu saja cukup? Jawabannya tentu saja tidak.

Harus kita akui bahwa negara ini dari tahun - ketahun semakin berkembang dalam berbagai bidang seperti teknologi dan informasi, fashion, perindustrian dan masih banyak lagi. Namun apakah kita terus menyadari dari sekian banyak perkembangan itu kita masih saja terjajah oleh masalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia? Arti miskin disini tentu saja sangat luas, kita bisa saja miskin ekonomi, miskin pengetahuan, miskin pergaulan atau miskin dengan sesuatu yang berhubungan dengan interaksi sosial, miskin kesempatan dalam dunia politik, dan masih banyak lagi. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini yang saya maksud adalah kemiskinan dalam bidang ekonomi.

Ketika ditanya apakah Indonesia itu negara yang kaya atau miskin? Kita sering dengan bangganya menyebut bahwa negara kita Indonesia adalah negara yang kaya *blablabla. Ironisnya adalah negri kita ini kaya, tapi penduduknya miskin.



Banyak orang kaya di Indonesia, tapi tidak sedikit pula yang kurang beruntung seperti mereka. Kemiskinan memang sudah ada sejak dulu, tapi kemiskinan masih saja menjadi permasalahan yang dihadapi oleh negara kita. Memang sulit untuk mengatasi permasalahan yang satu ini. Sejak zaman presiden Indonesia yang pertama hingga yang sekarang, selalu saja ada suatu upaya yang direncanakan dan ingin dilakukan guna mengentaskan kemiskinan di negara kita, tapi apakah itu semua berjalan seperti yang telah di elu-elukan? Yang kita perlukan bukanlah janji melainkan suatu 'tindakan'.

Kemiskinan memang bukan 'milik' Indonesia semata. Di negara maju seperti Amerika sekalipun masih ada penduduk yang miskin. Namun apakah kita bisa sedikit lega mengetahui bahwa di negara maju seperti itu juga masih mempunyai penduduk miskin seperti yang kita 'miliki'? Kategori miskin antara negara maju seperti Amerika dengan miskin Indonesia tentulah berbeda. Bayangkan dari sekian banyak orang yang memiliki mobil di Amerika bisa saja dikategorikan  miskin karena standar hidup mereka  yang berbeda dengan di Indonesia. Di Indonesia sekian banyak orang yang memiliki mobil bisa dikategorikan sebagai orang yang kaya atau setidaknya berkecukupan. Selain itu gaji perhari yang didapat para pekerja paruh waktu di negara-negara maju setidaknya cukup untuk mempertahankan hidup mereka atau setidaknya membayar keperluan sehari-hari (uang saku) bagi para pelajar disana. Bandingkan saja dengan pekerja paruh waktu di Indonesia yang pas-pasan. Jangankan pekerja paruh waktu, tukang sapu di Amerika saja mendapatkan upah kurang lebih 100 ribu per jam selama sehari, bayangkan juka mereka bekerja selama 7 hingga 8 jam sehari maka dalam sehari uang yang bisa mereka dapatkan adalah 700 - 800 ribu sehari. Sangat jauh sekali dibandingkan dengan tukang sapu yang ada di Jakarta. Inilah perbedaan 'miskin' di negara maju dan di negara kita.

Dari tahun-ketahuan patut kita berlega-lega 'sedikit' dengan persentase angka kemiskinan yang semakin menurun dari negri ini. Namun apakah kita harus puas dengan itu saja? Masih ada puluhan juta orang Indonesia yang dapat digolongkan miskin. Yang menjadikan persoalan bukan hanya kemiskinan itu saja, tapi kesenjangan yang terjadi antara si kaya dengan si miskin. Ada jutaan orang yang hanya untuk mendapatkan uang 50 ribu saja sulitnya minta ampun, harus memeras keringat mereka, dengan keterbatasan yang mereka miliki, usia lanjut yang mengharuskan mereka tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada pula jutaan orang yang hanya dalam satu jam bahkan kurang mampu membuang-buang uang mereka bukan hanya 50 ribu, tapi 500 ribu, 5 juta, 50 juta dll. Bukan hanya itu, hal ini diperparah dengan kemiskinan moral yang dialami oleh segelintir orang, tidak cukup dengan kekayaan yang sudah mereka miliki, korupsi, melarikan uang negara dan segala bentuk kkn lainnya masih saja menjadi-jadi di negara kita.

Di televisi setiap hari kita saksikan berita-berita mengenai kasus korupsi yang terjadi negara kita ini. Saya heran entah dimana hati nurani merka, saya heran apakah mereka hilang ingatan atau memang tidak kritis dengan lingkungan sekitar mereka. Padahal kemiskinan ini ada di dekat mereka, mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Kemana hati nurani para koruptor ini?

Ketika menyaksikan orang-orang dengan bangga mengekspos keglamouran kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, mempertontonkan kemegahan dan kemewahan gedung-gedung bertingkat, bangunan seperti apartement dan mall-mall yang menjamur, mobil, dan masih lagi. Betapa mirisnya ketika kemiskinan di kota ini jarang terekspos oleh media kita, betapa menyedihkan dan ironisnya ketika kita melihat kenyataan disekeliling kita, bahwa masih banyak orang-orang yang masih membutuhkan uluran tangan kita. Di luar sana masih banyak orang-orang yang dengan sekuat tenaga mereka mencari nafkah demi kebutuhan mereka dan keluarganya. Di desa-desa tidak jarang para lansia yang sudah tua renta harus memeras keringat mereka demi mendapatkan penghasilan, itupun penghasilan yang mereka dapat pas-pasan untuk makan saja. Belum lagi keperluan yang lainnya. Di perkampungan kumuh tidak jarang kita temui anak-anak usia sekolah harus mengais-ngais sampah menjadi seorang pemulung demi membantu keluarga mereka. Di metro mini tidak jarang kita jumpai pengamen-pengamen dari anak kecil hingga orang tua dengan suara seadanya, meskipun kadang juga ada yang lumayan bernyanyi demi mendapat recehan dari kita.

Melihat hal ini, sebenarnya masih banyak harapan yang tersisa kedepannya, harapan bahwa negara kita benar-benar mampu mengentaskan kemiskinan. Saya tidak meragukan program-program yang telah dicanangkan oleh pemerintah kita, saya juga tau bahwa semua itu tidak bisa secara instan kita lakukan, semuanya perlu proses. Perlu ada kontribusi dari kita untuk bisa mewujudkannya bersma-sama. Saya hanya ingin bahwa kita generasi muda bisa menyadari bahwa jangan hanya kepuasan kita semata yang kita perjuangkan, tapi lihatlah ke sekeliling kita. Masih banyak yang kurang beruntung dari kita, masih banyak orang-orang di luar sana yang perlu bantuan kita. Tolong buka mata hati kalian, tolong resapi semua ini, tolong lihat kebawah.

Jangan takut untuk membuat gebrakan baru demi memajukan bangsa ini, jangan buat diri kira ragu  menjawab ketika ditanya lagi, apakah Indonesia itu negara kaya atau miskin. Jangan bangga dengan kemegahan 'palsu' yang ditunjukkan di media-media saja tapi banggalah dengan kekayaan sesungguhnya yang kita miliki. Jadilah orang yang berguna bagi negara kita dalam berbagai bidang. Tentunya kita akan bangga ketika dpat menjadikan negara ini sebagai negara yang dipandang oleh negara-negra lain, bukan hanya dengan pariwisatanya saja, bukan dengan kebudayaannya saja, tapi dengan intelektual dan moral baik kita juga. Mari kita hentaskan kemiskinan, peduli sesama, memperjuangkan keadilan sosial dan keadilan ekonomi.

No comments:

Post a Comment